Sabtu, 21 November 2009

The Princess Of Sastra

Biografi Sastrawan Indonesia

A. Biografi penyair angkatan 45
1. Mochtar Lubis
Mochtar Lubis (dilahirkan tanggal 7 Maret 1922 di Padang) adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mantan wartawan LKBN ini memimpin harian Indonesia Raya sejak 1951 hingga koran tersebut dilarang terbit pada 1974. Karena tulisan-tulisannya di surat kabar itu pula, selama sepuluh tahun (1956-66) ia ditahan Pemerintah Orde Lama. Sejak 1966, ia memimpin majalah sastra Horison. Ia mendirikan majalah sastra Horison bersama kawan-kawannya.
Ketua Yayasan Indonesia ini adalah penerima Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina (1958), Pena Emas dari World Federation of Editor and Publisher (1967), dan Hadiah Sastra Chairil Anwar (1992) dari Dewan Kesenian Jakarta. Kumpulan cerita pendek dan novel-novelnya adalah: Si Jamal dan Cerita-cerita Lain (1951), Perempuan (1956; mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-56), Kuli Kontrak (1982), Bromocorah (1983), Tak Ada Esok (1951), Jalan Tak Ada Ujung (1952; memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1952), Tanah Gersang (1966), Senja di Jakarta (1970), Harimau! Harimau! (1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1975), Maut dan Cinta (1977). Karya-karya terjemahannya: Tiga Cerita dari Negeri Dolar (1950; John Steinbeck, Upton Sinclair, John Russel), Orang Kaya (1950; F. Scott Fitzgerald), Yakin (1950; Irwin Shaw), Kisah-kisah dari Eropah (1952), dan Cerita dari Tiongkok (1953).

2. Idrus
Idrus lahir pada tanggal 21 September 1921, di Padang, Sumatera Barat. Ia menikah dengan Ratna Suri, pada tahun 1946. Mereka dikaruniai enam orang anak, empat putra dan dua putri, Prof. Dr. Ir. Nirwan Idrus, Slamet Riadi Idrus, Rizal Idrus, Damayati Idrus, Lenita Idrus, dan Taufik Idrus.
Ia meninggal di tanah kelahirannya, 18 Mei 1979. Tahun 1965–79, mengajar di Universitas Monash, Australia. Penutur fasih yang pernah menjadi redaktur majalah Kisah dan Indonesia ini dikenal sebagai pelopor penulisan prosa dalam kesusastraan Indonesia modern. Karya-karya drama, cerita pendek, novel dan terjemahannya adalah: Dokter Bisma (1945); Kejahatan Membalas Dendam (1945), Jibaku Aceh (1945), Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948), Keluarga Surono (1948), Aki (1949), Perempuan dan Kebangsaan (1949), Dua Episode Masa Kecil (1952), Dengan Mata Terbuka (1961), Hati Nurani Manusia (1963), Hikayat Puteri Penelope (1973), Kereta Api Baja (1948; Vsevold Ivanov), Acoka (1948; G. Gonggrijp), Keju (1948; Willem Elschot), Perkenalan (1949; Anton Chekov, Luigi Pirandello, Guy de Maupassant, dan Jeroslav Hasek).


3. Asrul Sani
Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926, meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004) adalah seorang sastrawan dan sutradara film asal Indonesia. Menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (1955).
Asrul Sani pernah menjadi redaktur Pujangga Baru, Gema Suasana, Gelanggang, dan Citra Film. Karya-karya aslinya adalah: Tiga Menguak Takdir (1950; bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin), Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat (1972), Mantera (1975), Mahkamah (1988). Selain banyak menulis skenario dan menyutradarai film, ia dikenal sebagai penerjemah andal dan produktif. Karya-karya terjemahannya, antara lain: Laut Membisu (1949; Vercors), Pangeran Muda (1952; Antoine de Saint Exupery), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (1960; Richard Bolslavsky), Rumah Perawan (1977; Kawabata Yasunari), Villa des Roses (Willem Elschot), Puteri Pulau (1977; Maria Dermout), Kuil Kencana (1978; Yukio Mishima), Pintu Tertutup (1979; Jean Paul Sartre), Julius Caesar (1979; William Shakespeare), Sang Anak (1979; Rabindranath Tagore); Catatan dari Bawah Tanah (1979; Dostoyevsky), Keindahan dan Kepiluan (1986; Nikolai Gogol).

4. Chairil Anwar
Chairil Anwar (Medan, 26 Juli 1922 — Jakarta, 28 April 1949) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku [1]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia dianggap sebagai pelopor angkatan '45 dan puisi moderen Indonesia.
Puisi-puisi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar telah menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan bangsanya. Pria ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putirinya Evawani Alissa Chairil Anwar.

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948). Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.

Chairil Anwar yang dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku) adalah pelopor Angkatan '45 yang menciptakan trend baru pemakaian kata dalam berpuisi yang terkesan sangat lugas, solid dan kuat. Dia bersama Asrul Sani dan Rivai Apin memelopori puisi modern Indonesia. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Hari meninggalnya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Chairil menekuni pendidikan HIS dan MULO, walau pendidikan MULO-nya tidak tamat. Puisi-puisinya digemari hingga saat ini. Salah satu puisinya yang paling terkenal sering dideklamasikan berjudul Aku ( "Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat “Gelanggang” dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” (1946).

Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949); Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Asrul Sani dan Rivai Apin); Aku Ini Binatang Jalang (1986); Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya diterbitkan Gramedia berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986). Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide), Kena Gempur (1951, John Steinbeck). Sementara karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol adalah: "Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); "Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); "Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969);

The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970); The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan HB Jassin (Singapore: University Education Press, 1974); Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978); The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993), Sedangkan karya-karya tentang Chairil Anwar, antara lain:
1. Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953).
2. Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
3. Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974).
4. S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976).
5. Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jawa, 1976).
6. Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976.
7. H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983).
8. Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984).
9. Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985).
10. Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987).
11. Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995).
12. Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996).


5. Dodong Djiwapradja

Terlahir dengan nama Dodong itu nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya, yaitu Rd. H. Mustapa Djiwapradja dan Rd.Hj. Siti Djubaedah, tepatnya di Garut 25 September 1928. Dodong merupakan anak kelima dari enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Ayahnya dulu seorang lurah pada jaman Belanda, wataknya pendiam namun tegas dan taat beragama. Kehidupan demokratis begitu besar di lingkungan keluarganya, terbukti sang ayah tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh mereka. Demikian pula halnya mengenai pendidikan, terserah kepada anak-anaknya, mau di sekolah formal atau pesantren, yang penting mereka bisa menuntut ilmu. Ibunya seorang ibu rumah tangga biasa yang menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi ‘orang’ dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Masa kecil Dodong banyak dihabiskan di Banyuresmi . Beliau mengecap pendidikan di Sekolah Rakyat 3 tahun , lalu di Vervolg (Sekolah Sambung) selama 2 tahun. Atas tuntunan kakak tertuanya, beliau kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di Garut Kota. Selama di Garut Kota beliau indekost dan dititipkan kepada teman ayahnya. Dalam usia yang relatif muda Dodong dituntut untuk mandiri, karena keinginannya untuk terus menuntut ilmu, mau tidak mau menjadikan Dodong jauh dari orang tua dan sanak saudaranya. Hal ini disebabkan pula karena di Garut tidak ada sekolah lanjutan tingkat atas, jadilah Dodong mengembara di Solo, beliau bersekolah di Sekolah menengah Tinggi Nasional hingga selesai. Kemudian setelah itu di Solo Dodong muda ikut menjadi anggota tentara pelajar yang bermarkas di sana.
Sejak SMP, Dodong sudah mulai menulis puisi, namun di bangku SMA Dodong lebih serius lagi menekuninya. Puisi pertamanya yang berjudul ‘cita-cita’ dipilih oleh HB. Yasin dan dimuat di Majalah Gema Tanah Air – Gema Tanah Air merupakan buku kumpulan puisi penyair se-Indonesia – inilah awal bagi Dodong untuk menunjukkan jati dirinya sebagai seorang penyair.
Karir Dodong di militer bukan suatu keinginan ataupun cita-cita sedari kecil, toh beliau mendapatkan kesempatan meniti karir di AURI dikarenakan oleh jiwa seninya, pada saat itu yang terpenting baginya ialah mendapatkan pekerjaan. Di AURI beliau menjadi redaktur majalah Angkasa dengan pangkat Letnan Muda Udara II (LMU II) hingga pangkat Letnan Muda Udara I (LMU I). Selama menjadi LMU II dan I, Dodong melanjutkan pendidikan Akademi Hukum Militer dengan titel BCHK (Bacheloriat Hukum). Tak lama kemudian diganti menjadi Sekolah Tinggi Hukum Militer dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum. Saat itu beliau diminta menjadi anggota Komisi Istilah, Seksi Istilah Penerbangan di Jakarta. Aktifitas lain yang Dodong lakukan semasa itu adalah menjadi guru tidak tetap di SMA IPPI, Jakarta. Beliau mengajar Kesusastraan Indonesia dan Sejarah Kebudayaan, dan di STM Penerbangan mengajar Bahasa Indonesia. Dalam kesibukan yang luar biasa padatnya beliau masih sempat ditugaskan menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Konperensi Pengarang Asia Afrika, Tashkent, Rusia. Menyusul kemudian ditugaskan ke Helsinki (Finlandia), Shanghai (China), Jepang, dll, masih dalam tugasnya sebagai delegasi pengarang dari Indonesia.
Pada kesempatan lain beliau diminta menjadi anggota pengurus pleno Badan Musyawarat kebudayaan Nasional (BMKN). Beliaupun menjadi anggota dewan juri Hadiah Sastra Berkala BMKN, keduanya bertempat di Jakarta. Sesudah itu beliau menjadi dosen yang luar biasa dalam mata pelajaran Kesusastraan Indonesia Modern di Jurusan Sastra Indonesia pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Dodong pun sebagai perwira hukum pernah menjabat Jaksa Tentara, yang tugasnya memberikan sanksi bagi para tentara yang melanggar hukum pidana. Dalam mengemban tugas tersebut, beliau di tempatkan di Indonesia Bagian Timur dan Indonesia Bagian Barat seperti di Pulau Banda, Ambon, Irian Barat, Aceh, Bengkulu, Palembang, dan Lampung. Pada saat berpangkat Kapten, beliau ditunjuk menjadi Ketua Operasi Budi atas instruksi Menhankam. Untuk sementara pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Udara Lokal, karena ia harus membawahi anak buah yang jabatannya setingkat dengannya, di mana setiap anggotanya tidak hanya dari Angkatan Udara saja, namun juga dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut . Operasi Budi ini sendiri bertujuan untuk memberantas korupsi di seluruh Hankam. Operasi ini sarat godaan dan tantangan, karena tidak sedikit oknum yang mencoba menyuap beliau. Namun karena beliau orang yang menjunjung tinggi kejujuran, uang dan barang yang diberikan ditolaknya mentah-mentah. Baginya materi tidak bisa memberikan ketentraman hakiki, lain halnya dengan sikap hidup yang jujur, yang akan menjembatani keselamatan hidup dunia akhirat.
Adakalanya kita tidak tahu ke arah mana kapal akan berlayar dan berlabuh di mana. Demikian pula halnya dengan Dodong - dimainkan gelombang kehidupan, mulai dari riak-riak kecil lalu arus yang besar yang akan membawa perubahan drastis pada sisi kehidupannya. Pada saat perasaannya sabil dalam memilih karir atau keluarga, beliau lebih memilih menambatkan perahunya di dermaga terakhir. Beliau lebih memilih pulang ke tengah-tengah keluarga, menanggalkan pangkat dan atribut AURI-nya untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang seutuhnya, selamanya – menjalani suatu pekerjaan lain yang membuatnya tidak jauh dari keluarga, begitulah pada saat itu, hati dan pikirannya menjadi satu membulatkan tekadnya – itulah akhir dari karir Dodong di AURI.
Dodong tidak perlu berlama-lama diam dalam kejenuhan menjalani masa pensiunnya. Karena tidak lama kemudian beliau ditawari untuk mengajar di UNPAD menjadi dosen luar biasa pada Fakultas Sastra. Sempat beberapa waktu beliau membuka Biro Konsultasi Hukum, namun tidak berjalan lama karena darah seni yang mengalir di tubuhnya lebih dominan dan cenderung membuat Dodong lebih tertarik mendalami bidang Sastra dan Budaya. Setelah berhenti mengajar di UNPAD, atas permintaan dari Yayasan Sundanologi dan Yayasan Perguruan UNINUS, beliau diminta untuk mengajar dengan jabatan tenaga edukatif tetap Yayasan UNINUS. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai pengajar, beliau sering diminta menjadi juri untuk berbagai lomba puisi, roman, buku fiksi, dll. Momen yang paling berarti dalam hidup Dodong adalah pada saat beliau mendapatkan Hadiah Sastra dari buku yang berjudul “Kastalia” yang merupakan kumpulan-kumpulan puisinya. Penghargaan langsung diberikan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada saat itu, yaitu Dr. Yahya A. Muhaimin. Hadiah Sastra tersebut merupakan sebuah ekspektasi bahwa karya-karyanya ternyata dapat diakui dan diterima oleh insan-insan sastra di Indonesia.
Dengan kemampuan berbahasa Belanda, Inggris dan Perancis, membuat Dodong sering membaca karya buku-buku karya novelis dari luar, dan kecintaannya pada buku membuat Dodong banyak terinspirasi dalam menuangkan karya-karyanya. Buku ibarat nyawa bagi seorang Dodong, di saat dia berhenti untuk membaca, berhenti pulalah cipta karyanya.
Mengenai karya tulis yang otentik dari Dodong, terutama sajak-sajaknya banyak dimuat di majalah-majalah kebudayaan seperti, “Mimbar Indonesia”, “Gema Suasana”, “Pujangga Baru”, “Seni”, “Siasat”, “Sastra” , dan “Budaya Jaya”. Beliau termasuk penyair Angkatan 45, seangkatan dengan Chairil Anwar, Sitor Situmorang, dan Pramoedya Ananta Toer. Selain puisi, beliau pun aktif menulis essay baik yang ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Sunda. Tidak berhenti sampai di situ, Dodong pun menerjemahkan beberapa karya di antaranya karangan Leo Tolstoy, novelis Rusia, yang berjudul “Rumah Tangga Yang Bahagia”. Lalu dongeng-dongeng Asia untuk bacaan anak-anak yang bercerita seputar peristiwa yang terjadi di negara-negara Asia. Bacaan anak-anak ini sarat pesan moral dan bagus untuk dijadikan teladan dari tokoh-tokoh yang ada dalam cerita tersebut. Dodong pernah juga membuat buku cerita anak yang berjudul “Menghidupkan Singa Mati” dengan ilustrasi gambar oleh teman beliau yang bernama Wakidjan. Dalam buku ini beliau memakai nama samaran “Pamira”. Semasa masih aktif , beliau pun sering meluangkan waktu untuk berkumpul, saling bertukar pikiran bersama seniman-seniman lainnya, seperti, Ajip Rosidi, Embas Suherman, Affandi, Ramadhan KH. almarhum, WS. Rendra, Achdiat Kartamihardja, termasuk Chairil Anwar, dll.
Suatu waktu, beliau pernah mengalami suatu peristiwa besar yang secara tidak langsung mengubah jalan hidupnya. Beliau sempat difitnah bahwa ia terlibat dalam gerakan G30S/PKI, hal ini disebabkan kedekatannya dengan teman-temannya dari LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), adalah suatu lembaga di bawah naungan PKI. Bagi Dodong, dirinya tidak pernah membuat dinding pemisah, ia berteman dengan siapa saja, tidak pernah pandang bulu, tidak pernah merasa memusuhi siapapun, sekalipun dia komunis. Jadi beliau tidak tahu kalau teman-temannya itu anggota PKI atau bukan. Sebagai contoh, kedekatan beliau dengan Utuy Tatang Sontani , Pramoedya Ananta Toer, yang sama-sama dituding terlibat PKI. Namun dalam kenyataannya tak ada satupun bukti yang melibatkan mereka. Dalam hal ini Dodong berpasrah diri karena dalam hidup tidak semua orang bersimpati kepada kita, di satu sisi pasti ada yang antipati. Biar waktu saja yang menjawab akan kebenaran hal itu. Tentunya dengan support dari teman, sahabat, dan keluarga, Dodong dapat tegar menjalani hidup sampai hari ini. Menjalani masa tua meski sebagian teman dan sahabatnya sudah berpulang kehadirat Allah SWT. Menghitung hari … menunggu waktu, dengan raga yang nyaris rapuh, ringkih, dan tertatih karena Bronchitis akut yang bertahun-tahun dideritanya. Dengan harapan dalam waktu yang tersisa masih dapat diberikan berkah dan karunia-Nya. Di suatu tempat, Menyambut senja diujung Kota Bandung, tepatnya di Riung Bandung, nostalgia itu ditanggalkan.

6. Achdiat K. Mihardja
Achdiat K. Mihardja dilahirkan di Garut, Jawa Barat, 6 Maret 1911. Sebelum menjadi dosen Universitas Nasional Australia dari 1961 hingga pensiun, ia pernah bekerja sebagai guru Taman Siswa, redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dan dosen Fakultas Sastra Indonesia. Karyanya antara lain: Polemik Kebudayaan (1948; [ed].), drama Bentrokan dalam Asmara (1952), Pak Dullah in Extremis (1977), dan novel Debu Cinta Bertebaran (1973) serta Atheis (1949). Yang terakhir ini adalah karyanya yang paling terkenal dan memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah RI pada 1969. Tiga tahun kemudian novel tersebut diterjemahkan R.J. Maguire ke dalam bahasa Inggris.

7. Pramudya Ananta Toer
Pramudya Ananta Toer dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Novelis Indonesia paling produktif dan terkemuka yang pernah meredakturi ruang kebudayaan “Lentera” Harian Rakyat (1962-65) dan dosen di Universitas Res Publica Jakarta ini, setelah peristiwa G30S/PKI ditahan di Jakarta dan Pulau Buru sebelum akhirnya dibebaskan pada 1979. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, antara lain: Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Jepang. Novel-novelnya yang telah diterbitkan: Kranji-Bekasi Jatuh (1947), Perburuan (1950; pemenang Hadiah Pertama Sayembara Balai Pustaka 1949), Keluarga Gerilya (1950), Mereka yang Dilumpuhkan (1951), Bukan Pasar Malam (1951), Di Tepi Kali Bekasi (1951), Gulat di Jakarta (1953), Maidah, Si Manis Bergigi Emas (1954), Korupsi (1954), Suatu Peristiwa di Banten Selatan (1958; menerima Hadiah Sastra Yayasan Yamin 1964, dan ditolak pengarangnya), Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Gadis Pantai (1985), Rumah Kaca (1987), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999). Cerita-cerita pendeknya dikumpulkan dalam: Subuh (1950), Percikan Revolusi (1950), Cerita dari Blora (1952; memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1952), Cerita dari Jakarta (1957; meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-58, dan ditolak oleh penulisnya). Sedangkan karya-karya terjemahannya antara lain: Tikus dan Manusia (1950; John Steinbeck), Kembali kepada Cinta Kasihmu (1950; Leo Tolstoy), Perjalanan Ziarah yang Aneh (1956; Leo Tolstoy), Kisah Seorang Prajurit Soviet (1956; Mikhail Solokhov), Ibu (1956; Maxim Gorky), Asmara dari Rusia (1959; Alexander Kuprin), Manusia Sejati (1959; Boris Pasternak). Selain itu, ia juga menulis memoar, esai, dan biografi.

8. Utuy Tatang Sontani
Utuy Tatang Sontani dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat, 31 Mei 1920, dan meninggal di Moskow, Uni Soviet, 17 September 1979. Karya-karya sastrawan anggota pimpinan LEKRA (1959-65) yang menulis novel dan banyak karya sastra drama ini adalah: Suling (1948), Bunga Rumah Makan (1984), Tambera (1949), Orang-orang Sial (1951), Awal dan Mira (1952; mendapat hadiah Sastra Nasional BMKN 1953), Manusia Iseng (1953), Sangkuriang Dayang Sumbi (1953), Sayang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Selamat Jalan Anak Kufur (1956), Di Muka Kaca (1957), Saat yang Genting (1958; mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-58), Manusia Kota (1961), Segumpal Daging Bernyawa (1961), Tak Pernah Menjadi Tua (1963), Si Sapar (1964), Si Kampreng (1964), dan terjemahan Selusin Dongeng (1949; Jean de la Fountain).

B. Biografi penyair angkatan 50-60-an
1. Sitor Situmorang
Sitor Situmorang (lahir 2 Oktober 1924 di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara) adalah wartawan, sastrawan, dan penyair Indonesia. Ayahnya adalah Ompu Babiat Situmorang yang pernah berjuang melawan tentara kolonial Belanda bersama Sisingamangaraja XII. Sitor menempuh pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Jakarta. Ia sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris (1950-1952). Tahun 1956-57 ia memperdalam ilmu sinematografi di Universitas California. Setelah keluar dari tahanan politik, ia tinggal di Leiden (1982-1990) lalu Islamabad (1991).

2. N. H. Dini
Nama Nh. Dini merupakan singkatan dari Nurhayati Srihardini. Nh. Dini dilahirkan pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang, Jawa Tengah. Ia adalah anak kelima (bungsu) dari empat bersaudara. Ayahnya, Salyowijoyo, seorang pegawai perusahaan kereta api. Ibunya bernama Kusaminah. Bakat menulisnya tampak sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”.
Karya-karyanya: Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1961), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), Namaku Hiroko (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Liar (1989; perubahan judul kumpulan cerita pendek Dua Dunia), Istri Konsul (1989), Tirai Menurun (1995), Panggilan Dharma Seorang Bhikku Riwayat Hidup Saddhamma Kovida Vicitta Bhanaka Girirakkhitto Mahathera (1996), Kemayoran (2000).

3. Ayip Rosidi
Pengarang, editor, Ketua Dewan Pendiri Yayasan Kebudayaan Rancagé, Ketua Pendiri Yayasan Pusat Studi Sunda. Pernah bekerja sebagai pengajar bahasa dan kebudayaan Indonesia di Osaka Gaikokugo Daigaku (1981-2003), di samping mengajar juga di Kyoto Sangyo Daigaku (1982-1996) dan Tenri Daigaku (1982-1995), Jepang. Memprakarsai pelembagaan Hadiah Sastra Rancagé sejak 1989, dan memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) 2001 di Bandung. Menulis sejak remaja, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda.
Ajip Rosidi dilahirkan di Jatiwangi, Jawa Barat, 31 Januari 1938. Karya-karya Profesor Gaidai University of Foreign Studies Jepang ini antara lain: Tahun-tahun Kematian (1955), Pesta (1956; bersama Sobron Aidit dan S.M. Ardan), Di Tengah Keluarga (1956), Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957; meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN), Perjalanan Penganten (1958), Surat Cinta Enday Rasidin (1960), Jeram (1970), Jakarta dalam Puisi Indonesia (1972; [ed.]), Laut Biru Langit Biru (1977; [ed.]), Syafruddin Prawiranegara Lebih Takut kepada Allah Swt. (1986; [ed.]), Nama dan Makna (1988), Terkenang Topeng Cirebon (1992), Sastra dan Budaya Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995). Bersama Matsuoka Kunio, ia juga menerjemahkan novel-novel Kawabata Yasunari Penari-penari Jepang (1985; Izu no odoriko) dan Daerah Salju (1987; Yukiguni).

4. Subagio Sastrowardoyo
Subagio Sastrowardoyo dilahirkan di Madiun, Jawa Timur, 1 Februari 1924, dan meninggal di Jakarta, 18 Juli 1995. Peraih M.A. dari Departement of Comparative Literature, Yale University, Amerika Serikat ini pernah mengajar di beberapa sekolah menengah di Yogyakarta, Fakultas Sastra UGM, SESKOAD Bandung, Salisbury Teachers College, dan Flinders University, Australia. Cerpennya, “Kejantanan di Sumbing” dan puisinya, “Dan Kematian Makin Akrab”, masing-masing meraih penghargaan majalah Kisah dan Horison. Kumpulan puisinya, Daerah Perbatasan membawanya menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1971), sementara Sastra Hindia Belanda dan Kita mendapat Hadiah Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta, dan bukunya yang lain, Simfoni Dua, mengantarkannya ke Kerajaan Thailand, menerima Anugerah SEA Write Award. Karya-karyanya yang berupa puisi, esai, dan kritik, diterbitkan dalam: Simphoni (1957), Kejantanan di Sumbing (1965), Daerah Perbatasan (1970), Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979), Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Hari dan Hara (1979), Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983), Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1992), Dan Kematian Makin Akrab (1995).
5. Ramadhan K.H.
Ramadhan K.H. dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, 16 Maret 1927. Mantan redaktur majalah Kisah, Siasat Baru, dan Budaya Jaya yang banyak menulis buku biografi dan pernah lama mukim di luar negeri ini adalah penulis kumpulan puisi Priangan si Jelita (1958; memenangkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1957-58), dan novel-novel Kemelut Hidup (1976; pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ 1974), Keluarga Permana (1978; pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ 1976). Novelnya yang lain, Ladang Perminus, membawa pengarang ini ke Thailand, menerima SEA Write Award 1993.

6. Nugroho Notosusanto
Nugroho Notosusanto dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah 15 Juli 1931, dan meninggal di Jakarta, 2 Juni 1985. Karya-karya sastrawan dan sejarawan yang pernah menjabat Rektor Universitas Indonesia (1982-85) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1983-85) ini antara lain: Hujan Kepagian (1958), Tiga Kota (1959), Rasa Sayang (1961), Hijau Tanahku Hijau Bajuku (1963), Norma-norma dasar Penelitian Sejarah Kontemporer (1978), Tentara Peta pada Zaman Pendudukan Jepang (1979), Sejarah dan Sejarawan, Tercapainya Konsesus Nasional 1966-1969 (1985), Sejarah Nasional Indonesa I-IV (bersama Marwati Djoened Poesponegoro), dan sejumlah karya terjemahan.

7. Ali Akbar Navis
A.A. Navis dilahirkan Padangpanjang, Sumatera Barat, 17 November 1924. “Robohnya Surau Kami” dan sejumlah cerita pendek lain penerima Hadiah Seni dari Departemen P dan K pada 1988 ini, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jepang, Perancis, Jerman, dan Malaysia. Cerpen pemenang hadiah kedua majalah Kisah di tahun 1955 itu diterbitkan pula dalam kumpulan Robohnya Surau Kami (1956). Karyanya yang lain: Bianglala (1963), Hujan Panas (1964; Hujan Panas dan Kabut Musim, 1990), Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi (1970; novel ini memperoleh penghargaan Sayembara Mengarang UNESCO/IKAPI 1968), Dermaga dengan Empat Sekoci (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Jodoh (1998).

8. Titis Basino
Titis Basino dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 17 Januari 1939. Karya-karya novelis yang cukup produktif ini antara lain: Pelabuhan Hati (1978), Dataran Terjal, Di Bumi Kita Bertemu, di Langit Kita Bersua (1983), Bukan Rumahku (1986), Dari Lembah ke Coolibah (1997), Welas Asih Merengkuh Tajali (1997), Menyucikan Perselingkuhan (1998), Tersenyum Pun Tidak Untukku Lagi (1998), Rumah K. Seribu (1998), Aku Kendalikan Air, Api, Angin, dan Tanah (1998), Mawar Hitam Milik Laras (1999), Garis Lurus, Garis Lengkung (2000).
9. Toto Sudarto Bachtiar
Toto Sudarto Bachtiar dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956; memenangkan Hadiah Sastra BMKN 1957) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Karya-karya terjemahannya antara lain: Pelacur (1954; Jean Paul Sartre), Sulaiman yang Agung (1958; Harold Lamb), Bunglon (1965; Anton Chekov, et.al.), Bayangan Memudar (1975; Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa), Pertempuran Penghabisan (1976; Ernest Hemingway), Sanyasi (1979; Rabindranath Tagore).

C. Biografi penyair angkatan 66-70-an
1. Sapardi Djoko Damono
Prof Dr Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai salah seorang sastrawan yang memberi sumbangan besar kepada kebudayaan masyarakat modern di Indonesia. Salah satu sumbangan terbesar Guru Besar Fakultas Sastra UI ini adalah melanjutkan tradisi puisi lirik dan berupaya menghidupkan kembali sajak empat seuntai atau kwatrin yang sudah muncul di jaman para pujangga baru seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar.
Sapardi Djoko Damono dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 20 Maret 1940. Puisi-puisi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia sejak 1975 dan pernah aktif sebagai redaktur majalah sastra-budaya Basis, Horison, Kalam, Tenggara (Malaysia) ini adalah: Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983; mendapat Hadiah sastra DKJ 1983), Sihir Hujan (1984; pemenang hadiah pertama Puisi Putera II Malaysia 1983), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000). Sedangkan karya-karya sastra dunia yang diterjemahkannya: Lelaki Tua dan Laut (1973; Ernest Hemingway), Sepilihan Sajak George Seferis (1975), Puisi Klasik Cina (1976), Lirik Klasik Parsi (1977), Afrika yang Resah (1988; Okot p’Bitek).

2. Goenawan Mohamad
Goenawan Soesatyo Mohamad (Karangasem Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941) adalah seorang pujangga Indonesia yang terkemuka. Ia juga salah seorang pendiri Majalah Tempo.
Goenawan Mohamad adalah seorang intelektual yang punya wawasan yang begitu luas, mulai dari pemain sepakbola, politik, ekonomi, seni dan budaya, dunia perfilman dan musik, dan lain-lain. Pandangannya sangat liberal dan terbuka. Seperti kata Romo Magniz-Suseno, salah seorang koleganya, lawan utama Goenawan Mohamad adalah pemikiran monodimensional.
Goenawan Mohamad adalah pemimpin redaksi majalah Tempo selama 23 tahun yang juga mantan wartawan harian Kami ini dikenal luas sebagai penyair dan penulis esai yang sangat cerdas. Karya-karyanya antara lain: Pariksit (1971), Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang (1972), Interlude (1973), Seks, Sastra, Kita (1980), Catatan Pinggir (1982-91; empat jilid), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan ini, pada 1973 mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah RI, dan delapan tahun kemudian meraih SEA Write Award.

3. Abdul Hadi Widji Muthari.
Nama lengkap sastrawan Madura ini adalah Abdul Hadi Widji Muthari. Ia dilahirkan di Sumenep, Madura, 24 Juni 1948. Sejak kecil ia telah mencintai puisi. Penulisannya dimatangkan terutama oleh karya-karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar, ditambah dengan dorongan orangtua, kawan dan gurunya.
Di masa kecilnya pula ia sudah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang berat, dengan pemikir-pemikir kelas dunia seperti Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal.
Abdul Hadi WM antara 1967-83 pernah menjadi redaktur Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Budaya Jaya, Berita Buana, dan penerbit Balai Pustaka. Pada 1973-74 mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat. Karya-karyanya: Riwayat (1967) Laut Belum Pasang (1971), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976; meraih hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1976-77), Tergantung Pada Angin (1977), Anak Laut Anak Angin (1983; mengantarnya menerima penghargaan SEA Write Award 1985). Sejumlah sajaknya diterjemahkan Harry Aveling dan disertakan dalam antologi Arjuna in Meditation (1976). Karya-karya terjemahannya: Faus (Goethe), Rumi: Sufi dan Penyair (1985), Pesan dari Timur (1985; Mohammad Iqbal), Iqbal: Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya (1986; bersama Djohan Effendi), Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-bangsa Timur (1985), Kehancuran dan Kebangunan: Kumpulan Puisi Jepang (1987). Kumpulan esainya, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber diluncurkan pada 1999, dua puluh tahun setelah ia menerima Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

4. Mansur Samin
Mansur Samin dilahirkan di Batangtoru, Sumatera Utara, 29 April 1930. Ia banyak menulis drama dan cerita anak-anak. Karya-karyanya: Perlawanan (1966), Kebinasaan Negeri Senja (1968), Tanah Air (1969), Dendang Kabut Senja (1988), Sajak-sajak Putih (1996), Sontanglelo (1996), Srabara (1996). Ia juga banyak menulis cerita anak-anak, yaitu: Hadiah Alam, Hidup adalah Kerja, Kesukaran Terkalahkan, Percik Air Batang Toru, Warna dan Kasih, dan Urip yang Tabah.

5. Rendra
Rendra dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Sepulang memperdalam pengetahuan drama di American Academy of Dramatical Arts, ia mendirikan Bengkel Teater. Sajak-sajaknya mulai dikenal luas sejak tahun 1950-an. Antara April-Oktober 1978 ditahan Pemerintah Orde Baru karena pembacaan sajak-sajak protes sosialnya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kumpulan puisinya: Balada Orang Tercinta (1956; meraih Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-56), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-sajak Sepatu Tua (1972), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Angin (1993), Orang-orang Rangkasbitung (1993), Perjalanan Bu Aminah (1997), Mencari Bapak (1997). Buku-buku puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yaitu: Indonesian Poet in New York (1971; diterjemahkan Harry Aveling, et.al.), Rendra: Ballads and Blues (1974; Harry Aveling, et.al.), Contemporary Indonesian Poetry (1975; diterjemahkan Harry Aveling). Ia pun menerjemahkan karya-karya drama klasik dunia, yaitu: Oidipus Sang Raja (1976), Oidipus di Kolonus (1976), Antigone (1976), ketiganya karya Sophocles, Informan (1968; Bertolt Brecht), SLA (1970; Arnold Pearl). Pada 1970, Pemerintah RI memberinya Anugerah Seni, dan lima tahun setelah itu, ia memperoleh penghargaan dari Akademi Jakarta.

6. Hartoyo Andangjaya
Hartoyo Andangjaya dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, 4 Juli 1930, dan meninggal di kota kelahirannya, 30 Agustus 1991. Karya-karya aslinya: Simphoni Puisi (1954; bersama D.S. Moeljanto), Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, et. al.), Buku Puisi (1973), Dari Sunyi ke Bunyi (1991; kumpulan esai peraih hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud 1993). Karya-karya terjemahannya: Tukang Kebun (1976; Rabindranath Tagore), Kubur Terhormat bagi Pelaut (1977; Slauerhoff), Rahasia Hati (1978; Natsume Soseki), Musyawarah Burung (1983; Farid al-Din Attar), Puisi Arab Modern (1984), Kasidah Cinta (tt.; Jalal al-Din Rumi).

7. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.
Pada 1974-75 ia mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan sejak 1979 menjabat redaktur majalah sastra Horison. Karya-karyanya: O (1973), Amuk (1977; mendapat Hadiah Puisi DKJ 1976-77), Kapak (1979), O Amuk Kapak (1981). Sejumlah puisinya diterjemahkan Harry Aveling dan dimuat dalam antologi berbahasa Inggris: Arjuna in Meditation (1976; Calcutta). Pada 1979 ia menerima anugerah SEA Write Award dan sembilan tahun kemudian dilimpahi Penghargaan Sastra Chairil Anwar. Sebelumnya, peraih penghargaan tertinggi dalam bidang kesusastraan di Indonesia itu adalah Mochtar Lubis.

8. Umar Kayam
Umar Kayam dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932. Meraih M.A. di Universitas New York (1963), dan Ph.D. dua tahun kemudian dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada hingga pensiunnya di tahun 1997 ini adalah anggota penyantun/penasehat majalah sastra Horison sebelum mengundurkan pada 1 September 1993. Pada 1987, ia meraih SEA Write Award. Karya-karyanya: Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972), Totok dan Toni (1975), Sri Sumarah dan Bawuk (1975), Seni, Tradisi, Masyarakat (1981), Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Bangsa (1985), Para Priyayi (1992; mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K 1995), Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda (1994), Jalan Menikung (1999). Cerpen-cerpen-cerpennya diterjemahkan Harry Aveling dan diterbitkan dalam Sri Sumarah and Other Stories (1976) dan Armageddon (1976).
9. Satyagraha Hoerip
Satyagraha Hoerip dilahirkan di Lamongan, Jawa Timur, 7 April 1934, dan meninggal di Jakarta, 14 Oktober 1998. Tahun 1972-73, ia mengikuti International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat, dan pernah menjadi dosen tamu di universitas-universitas di Amerika dan Jepang. Karya-karyanya antara lain: Bisma Baneng Mayapada (1960), Sepasang Suami Isteri (1964), Antologi Esai tentang Persoalan Sastra (1969), Cerita Pendek Indonesia 1-3 (1979), Jakarta: 30 Cerita Pendek Indonesia 1-3 (1982), Palupi (1970), Keperluan Hidup Manusia (1963; terjemahan dari Leo Tolstoy), Tentang Delapan Orang (1980), Sesudah Bersih Desa (1990), Sarinah Kembang Cikembang (1993).
10. Danarto
Danarto dilahirkan di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940. Karya-karya penerima SEA Write Award 1988 ini adalah: Godlob (1975), Adam Ma`rifat (1982; meraih Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Buku Utama pada tahun yang sama), Berhala (1987; memenangkan hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1987), Orang Jawa Naik Haji (1984), Obrok Owok-owok, Ebrek Ewek-ewek (1976), Bel Geduwel Beh (1976), Gergasi (1993), Gerak-gerak Allah (1996), dan Asmaraloka (1999).
11. Taufiq Ismail
Taufiq Ismail dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935. Penerima American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, Amerika Serikat (1956-57), dan lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia, Bogor (1963). Karya-karya penyair penerima Anugerah Seni Pemerintah RI pada 1970 yang juga salah seorang pendiri majalah sastra Horison (1966) dan Dewan Kesenian Jakarta (1968) ini, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, Jepang, Jerman, dan Perancis. Buku kumpulan puisinya yang telah diterbitkan: Manifestasi (1963; bersama Goenawan Mohamad, Hartojo Andangjaya, et.al.), Benteng (1966; mengantarnya memperoleh Hadiah Seni 1970), Tirani (1966), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit (1971), Buku Tamu Museum Perjuangan (1972), Sajak Ladang Jagung (1973), Puisi-puisi Langit (1990), Tirani dan Benteng (1993), dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999). Bersama Ali Audah dan Goenawan Mohamad, penyair yang tinggi sekali perhatiannya pada upaya mengantarkan sastra ke sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi itu menerjemahkan karya penting Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. Sedangkan bersama D.S. Moeljanto, salah seorang seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan ini menyunting Prahara Budaya (1994).
12. Toha Mochtar
Toha Mochtar dilahirkan di Kediri, Jawa Timur, 17 September 1926, dan meninggal di Jakarta, 17 Mei 1992. Pengarang yang di tahun 1971 bersama Julius R. Siyaranamual dan Asmara Nababan mendirikan majalah Kawanku ini, telah melahirkan sejumlah novel: Pulang (1958; mendapat Hadiah Sastra BMKN 1957-58), Daerah Tak Bertuan (1963; meraih Hadiah Sastra Yamin 1964), Kabut Rendah (1968), Bukan Karena Kau (1968).
13. Djamil Suherman
Djamil Suherman dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, 24 April 1924, dan meninggal di Bandung, 30 November 1985. Karya-karyanya berupa puisi, novel dan cerita pendek: Muara (1958; bersama Kaswanda Saleh), Manifestasi (1963), Perjalanan ke Akhirat (1963; memenangkan hadiah kedua Majalah Sastra 1962), Umi Kulsum (1983), Pejuang-pejuang Kali Pepe (1984), Sarip Tambakoso (1985), Sakerah (1985).

14. Bur Rasuanto
Bur Rasuanto dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan, 6 April 1937. Karya-karya salah seorang penanda tangan utama Manifes Kebudayaan dan doktor dalam bidang filsafat ini adalah: Bumi yang Berpeluh (1963), Mereka Akan Bangkit (1963; meraih Hadiah Sastra Yamin, namun ditolak pengarangnya), Mereka Telah Bangkit (1966), Sang Ayah (1969), Manusia Tanah Air (1969), Tuyet (1978; mendapat hadiah utama Yayasan Buku Utama Departemen P & K 1978).

15. Motinggo Busye
Motinggo Busye dilahirkan di Kupangkota, Lampung, 21 November 1937, dan meninggal di Jakarta, 18 Juni 1999. Menulis banyak novel, menyutradarai film, dan melukis. Karya-karyanya antara lain: drama Malam Jahanam (1958; memenangkan hadiah pertama Sayembara Penulisan Drama Departemen P & K 1958), novel Malam Jahanam (1962), Badai Sampai Sore (1962), Tidak Menyerah (1962), Keberanian Manusia (1962), 1949 (1963), Bibi Marsiti (1963), Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Perempuan Itu Bernama Barabah (1963), Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (1963), Nyonya dan Nyonya (1963), Sejuta Matahari (1963), Matahari dalam Kelam (1963), Nasehat untuk Anakku (1963), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Retno Lestari (1968), Dia Musuh Keluarga (1968), Madu Prahara (1985). Cerita pendeknya, “Dua Tengkorak Kepala”, terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas dan dipublikasikan dalam kumpulan cerita pendek berjudul sama (2000).

16. Arifin C. Noer
Arifin C. Noer dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941, dan meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995. Pendiri Teater Kecil ini menulis puisi, drama, dan menyutradarai sejumlah film. Karya-karyanya anatara lain: Nurul Aini (1963), Mega-mega (1967), Kapai-kapai (1967; diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris), Prita Istri Kita, Umang-umang, Selamat Pagi Jajang (1979).

17. Putu Wijaya
Putu Wijaya dilahirkan di Tabanan, Bali, 11 April 1944. Karya-karya dramawan dan penulis cerita pendek paling produktif di Indonesia yang atas undangan Fulbright pernah mengajar di Amerika Serikat antara 1985-89 antara lain: Telegram (1972; novel yang memenangkan hadiah Sayembara Mengarang Roman DKJ 1971), Stasiun (1977; novel pemenang hadiah Sayembara Mengarang Roman DKJ 1971), Dar-Der-Dor (1996), Aus (1996), Zigzag (1996), Tidak (1999). Sejumlah karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Rusia, Perancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand. Pada tahun 1991, atas prestasi dan pencapaiannya dalam bidang kebudayaan, ia menerima Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

D. Biografi penyair angkatan 80-an
1. Remy Sylado
Remy Sylado (Makassar, 12 Juli 1945) ialah salah satu sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong (ER: Japi Tambajong). Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Semarang dan Solo. Ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Danya Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel, dsb di balik kegiatannya di bidang musik, seni rupa, teater, film, dsb dan menguasai sejumlah bahasa.




2. Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Karya-karya penulis cerita pendek yang sejak 1985 bekerja di majalah Jakarta Jakarta ini antara lain: Mati Mati Mati (1978), Bayi Mati (1978), Catatan Mira Sato (1978), Manusia Kamar (1978), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (1994; kumpulan cerita pendek terbaik versi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI 1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Negeri Kabut (1996), Jazz, Parfum, dan Insiden (1992). Cerpennya, “Pelajaran Mengarang”, dipilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1992, dan cerpen-cerpennya yang lain hampir setiap tahun terpilih masuk dalam antologi cerpen terbaik surat kabar itu. Pada 1995 ia memperoleh penghargaan SEA Write Award.


E. Biografi penyair angkatan pujangga baru.
1. J. E. Tatengkeng
J.E. Tatengkeng atau lengkapnya Jan Engelbert Tatengkeng adalah penyair Pujangga Baru. Ia biasa dipanggil Oom Jan oleh orang-orang dekatnya, panggilan yang lazim di kalangan masyarakat Sulawesi Utara. Tatengkeng memang merupakan salah satu fam dari propinsi itu. Oom Jan ini dilahirkan di Kolongan, Sangihe, Sulawesi Utara, pada tanggal 19 Oktober 1907, dan meninggal di Ujungpandang, 6 Maret 1968. Karya masyhur salah seorang pendiri Universitas Hasanuddin dan pernah menjabat Perdana Menteri NTT di tahun 1949 ini adalah Rindu Dendam (1934).

2. Rustam Effendi
Rustam Effendi dilahirkan di Padang, 13 Mei 1903, dan meninggal di Jakarta, 24 Mei 1979. Bebasari yang ditulisnya pada 1926 merupakan drama bentuk baru dalam sastra Indonesia. Selain itu ia menulis kumpulan puisi Percik Permenungan (1926) dan Van Moskow naar Tiflis (tt.)
3. Armijn Pane
Menurut J.S Badudu dkk. (1984:30). Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin Ari, dan Aria Indra. Dengan nama-nama itu ia menulis puisi dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga Baroe, dan Pandji Islam. Armijn Pane, anak ketiga dari 8 bersaudara, mempunyai nama samaran banyak, yaitu Adinata, A. Jiwa, Empe, A. Mada, A. Panji, dan Kartono. Ia dilahirkan tanggal 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, dan meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970. Antara 1933-55 pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Balai Pustaka, dan majalah Indonesia. Novelnya, Belenggu (1940), hingga saat ini dipandang sebagai peretas penulisan novel Indonesia modern. Karya-karyanya yang lain: Jiwa Berjiwa (1939), Kort overzicht van de Moderne Indonesische Literatuur (1949), Kisah Antara Manusia (1953), Jinak-jinak Merpati (1953), Gamelan Jiwa (1960), Tiongkok Zaman Baru, Sejarahnya: Abad ke-19 Sekarang (1953). Ia pun menerjemahkan dan menyadur novel dan drama, yaitu: Membangun Hari Kedua (1956; Ilya Ehtenburg) dan Ratna (1943; Hendrik Ibsen).

4. Tengku Amir Hamzah
Nama lengkap Amir Hamzah adalah Tengku Amir Hamzah, tetapi biasa dipanggil Amir Hamzah. Ia dilahirkan di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911. Amir Hamzah tumbuh dalam lingkungan bangsawan Langkat yang taat pada agama Islam. Pamannya, Machmud, adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di ibu kota Tanjung Pura, yang memerintah tahun 1927-1941.
Ia meninggal di Kuala Begumit, di provinsi yang sama, 20 Maret 1946, sebagai korban dari suatu “revolusi sosial”. Ia merupakan pendiri majalah Pujangga Baru (1933) bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane. Dua kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941) tak henti-henti menjadi bahan pembicaraan dan kajian para kritikus sastra di dalam dan luar negeri serta diajarkan di sekolah-sekolah hingga saat ini. Selain itu ia pun melahirkan karya-karya terjemahan: Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), Syirul Asyar (tt.).

5. Selasih
Selasih dilahirkan di Talu, Sumatera Barat, 31 Juli 1909, dam meninggal pada usia 86 tahun. Sastrawan yang pernah menjadi Ketua Jong Islamieten Bond Bukittingi (1928-30) ini, dikenal pula sebagai Sariamin atau Seleguri. Karya-karyanya: Kalau Tak Untung (1933), Pengaruh Keadaan (1937), Rangkaian Sastra (1952), Panca Juara (1981), Nakhoda Lancang (1982), Cerita Kak Mursi, Kembali ke Pangkuan Ayah (1986), dan dimuat pula dalam Puisi Baru (1946; Sutan Takdir Alisjahbana [ed.]), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979; Toeti Heraty [ed.]), Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan [ed.]).
6. Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 - Jakarta, 17 Juli 1994), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).
Sutan Takdir Alisjahbana meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994. Ia pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka. Ia pendiri serta pengelola majalah Pujangga Baru. Karya-karya guru besar dan anggota berbagai organisasi keilmuan di dalam dan luar negeri ini antara lain: Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian yang Tak Kunjung Padam (1932), Tebaran Mega (1935), Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia (1936), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940), Puisi Lama (1941), Puisi Baru (1946), The Indonesian Language and Literature (1962), Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (1969), Grotta Azzura (1970-71), The Failure of Modern Linguistics (1976), Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (1977), Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (1977), Lagu Pemacu Ombak (1978), Kalah dan Menang (1978).

7. Prof. Mohammad Yamin, SH
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, 23 Agustus 1903, dan meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962. Menulis (dan menerjemahkan) karya sastra dan sejarah dalam berbagai bentuk: puisi, drama, biografi. Antara lain: Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darahku (1928), Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara (1945), Menantikan Surat dari Raja (1928; Rabindranath Tagore), Di Dalam dan di Luar Lingkungan Rumah Tangga (1933), Pangeran Dipanegara (1950), Lukisan Revolusi (1950), Julius Caesar (1951; William Shakespeare). Puisi-puisi penyair yang memperkenalkan soneta ke dalam khasanah puisi Indonesia ini dapat ditemukan pula dalam Antologi Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963; H.B. Jassin [ed.]), Tonggak (1987; Linus Suryadi AG [ed.]).
Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal, yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta.

8. Sanusi Pane
Sanusi Pane lahir 14 November 1905 di Muara Sipongi, Sumatra Utara, dan meninggal 2 Januari 1968 di Jakarta. Berpendidikan HIS (di Padang Sidempuan dan Tanjung balai), ELS Sibolga, MULO (di Padang dan Jakarta, tamat 1922), Kweekschool Jakarta (tamat 1925), Sekolah Hakim Tinggi (hanya 1 tahun), dan terakhir memperdalam pengetahuan mengenai kebudayaan Hindu di India (1929-1930). Ia pernah menjadi guru di Kweekschool “Gunung Sari” Jakarta,HIK Lembang, HIK Gubernemen Bandung, dan Sekolah Menengah Perguruan Rakyat Jakarta. Pernah dipecat sebagai guru kaerna ia anggota Partai Nasional Indonesia. Sebelum masuk PNI,ia pernah aktif dalam Jong Sumatra dan Gerindo. Pernah menjadi redaktur majalah Timbul (1931-1933), harian Tionghoa-melayu Kebangunan (1936), dan sejak 1941 redaktur Balai Pustaka.
Karya-karyanya, Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926), Puspa Mega (1927), Airlangga (dalam bahasa belanda,1928), Eenzame Garoeda-vlucht (1929), Burung Garuda Terbang Sendiri (1929), Madah Kelana (1931), Kertajaya (1932), Sandyakalaning Majapahit (1933), Manusia Baru (1940), Sejarah Indonesia (1942), Indonesia Sepanjang Masa (1952), Bunga Rampai dari Hikayat Lama (1946; terjemahan dari bahasa Kawi), Arjuna Wiwaha (1940; Mpu Kanwa, diterjemahkan dari bahasa Kawi), Gamelan Jiwa (1960), dan lain-lain. Terjemahannya dari bahasa Kawi, Arjuna Wiwaha (karya Empu Kanwa, 1940). Studi tentang karya-karya SP; J.U. Nasution, Pujangga Sanusi Pane (1963).

Angkatan Balai Pustaka
1. Merari Siregar

Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juli 1896. Merari Siregar meninggal di Kalianget, Madura, pada tanggal 23 April 1941). Ia meninggalkan tiga orang anak, yaitu Florentinus Hasajangu MS yang lahir 19 Desember 1928, Suzanna Tiurna Siregar yang lahir 13 Desember 1930, dan Theodorus Mulia Siregar yang lahir 25 Juli 1932.
Semasa kecil, Merari Siregar berada di Sipirok. OIeh karena itu, sikap, perbuatan, dan jiwa Merari Siregar sangat dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Ia menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya mengenai adat, misalnya, kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat lingkungannya. Setelab dewasa dan menjadi orang terpelajar, Merari Siregar melihat keadaan suku bangsanya yang mempunyai pola berpikir yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Hati kecilnya ingin mengubah sikap orang-orang yang berpandangan kurang baik khususnya orang-orang di daerah Sipirok.
Ia pernah bersekolah di Kweekschool ‘sekolah guru’ dan sekolah guru Oosr en West, ‘Timur dan Barat’ di Gunung Sahari, Jakarta. Pada tahun 1923 Merari Siregar bersekolah di sekolah swasta yang didirikan oleh vereeniging tot van Oost en West, yang pada masa itu merupakan organisasi yang aktif memperakiekkan politik etis Belanda.
Setelah lulus dan sekolah, Merari Siregar mula-mula bekerja sebagai guru bantu di Medan kemudian pindah bekerja di Jakarta, yakni di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Terakhir Ia pindah di Kalianget, Madura, dan bekerja di Opium end Zouregie sampai akhir hayatnya.
Roman Azab dan Sengsara karya Marari Siregar dianggap sebagai pemula dalam kehidupan prosa Indonesia Modern. Roman yang diterbitkan pada tahun 1920 ini merupakan roman ash yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka. Buku ini mencerminkan permulaan kesusastraan prosa Indonesia modern, demikian dinyatakan oleh Teeuw. Gambaran itu semakin nyata terlihat pada roman Siti Nurbaya yang merupakan karya puncak Angkatan Balai Pustaka. Di samping itu, Azab dan Sengsara ini adalah peniup terompet pertama yang menyuarakan peftentangan kaum muda masa itu dengan adat istiadat lama.
Tampaknya, buku Azab dan Sengsara ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan Merari Siregar sejak masa kedil. Awal penulisan Azab dan Sengsara bersamaan waktunya dengan penyaduran buku yang kemudian terkenal dengan nama Si Jamin dan Si Johan, demikian dinyatakan oleh Teeuw. Roman Azab dan Sengsara itu rupanya sebuah cerita yang betul-betul terjadi tentang seorang gadis Batak yang hernama Mariamin. Dalam roman ini Merari Siregar sering menyisipkan nasihat-nasihat langsung kepada pembacanya. Nasihat ini tidak ada hubungannya dengan kisah tokohnya karena maksud pengarang menyusun buku itu sebetulnya untuk menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik kepada bangsanya. Di bawah ini dikutip tulisan pengarang yang menunjukkan hal tersebut.
Saya mengarang ceritera ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah¬tengah bangsaku, lebih-lebih di antara orang berlaki-laki. Harap saya diperhatikan oleh pembaca.
Hal-hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini meskipun seakan-akàn tiada mungkin dalam pikiran pembaca. adalah benar belaka, cuma waktunya kuatur—artinya dibuat berturut-turut supaya ceritera lebih nyata dan terang.
Azab dan Sengsara muncul ketika Belanda sedang bergairah melaksanakan politik etisnya. Kegairahan itu antara lain ditandai dengan herdirinya Conunissie Voor Volkslectuur ‘Komisi untuk Bacaan Rakyaf tahun 1908 yang bertugas menyelenggarakan dan menyebar bacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan ash kepada rakyat dan para pelajar sekolah bumi putera. Karangan ash itu, antara lain, cerita-cerita rakyat yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun.
Dilihat dari isi dan bentuknya sudah modern. Pemodernan ini dimungkinkan karena pengarang bergaul dengan karya sastra barat, khususnya sastra Belanda, yang ditandai lewat penerjemahan dan penyaduran. Pemoderenan semakin meningkat ketika Commissie Voor de VoLfcslectuur diganti namanya dengan Balai Pustaka.
Penggantian itu disertai penambahan tugas, yaitu melatih para pengarang dalam gaya bahasa dan bentuk baru. Pemodernan in autara lain, mampu mendorong kesadaran individu para pengarang. Kesadaran individu ini tercermin pada kemandirian tokoh-tokoh cerita. Tokoh-¬tokoh cerita ingin menentukan nasibnya sendiri tanpa ketergantungan pada lingkungan dan ikatan masyarakat. Kemandirian tokoh ini tercermin dalam Azab dan Sengsara, seperti yang tampak pada tokoh utama Mariamin. Kesadaran tokoh utama Mariamin terlihat ketika ia memotong penderitaan yang menimpa dirinya akibat kawin paksa lewat pengajuan cerai. Penonjolan kesengsaraan Mariamin ini diharapkan Merari Siregar agar menggugah para pembaca tentang penderitaan akibat kawin paksa. Di atas telah dikatakan bahwa ikatan adat tokoh Mariamin mulai menipis. Walau begitu, kesadaran susila dalam roman ini digambarkan tetap teguh. Hal ini tercermin pada peristiwa ketika Mariamin dianiaya oleh suarninya karena menerima tamu laki-laki, sementara suaminya tidak di rumah.
Secara keseluruhan Azab dan Sengsara memiliki ciri-ciri seperti Angkatan 20-an pada umumnya. Selain ciri-ciri yang dikemukakan di atas, yakni menguatnya kesadaran individu dan menipisnya kesadaran adat, roman ini juga sangat kuat diwarnai penggambaran alam dan pengungkapan perasaan. Pengungkapan perasaan itu, antara lain, tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.
Merari Siregar selain sebagai peñgarang juga penyadur. Sadurannya diberi judul Si Jamin dan Si Jehan yang diambil dan gubahan Justus van Maurik yang berjudul “Jan Smees’. Judul perasaan itu, antara lain, tercermin dalam penggunaan pantun dan syair.
Merari Siregar selain sebagai peñgarang juga penyadur. Sadurannya diberi judul Si Jamin dan Si Jehan yang diambil dan gubahan Justus van Maurik yang berjudul “Jan Smees’. Judul “Jan Smees” ini terdapat dalam kumpulan cerpen Justus van Maurik yang berjudul Lift het Volk ‘Dan Kalangan Rakyat’ dengan subjudul Ainsterdamche Novel/en ‘Novel Amsterdam’ yang terbit tahun 1879. demikian dinyatakan oleh Teeuw walaupun sebelumnya ía menyatakan bahwa cerita “Jan Smees” ini berasal dan cerita Oliver West gubahan Char les Dickens. Pengamat lain, seperti Armijn Pane pun menyatakan bahwa karya Si Jamin dan Si Johan berasal dari karya sastra Belanda tersebut.
Buku Si Jamin dan Si Johan cetakan pertama 1918, menurut Amal Hamzah, dimuat bersama-sama dengan judul lain yang bernama Penghibur Hati karya S. Paimin. Nama samaran Merari Siregar. Karangan kecil yang berjudul Penghibur Hati ini menurut Teeuw, dikarang oleh J-Paimin dan Slakas, Tasikmalaya. Pada halaman judul teks itu tertulis ‘Soewatoe karangan yang beroleh hadijah dan diploma dalam perloembaan karangan dan hal madat”. Teks itu merupakan risalah kecil tentang akihat buruk penghisapan madat.
Cerita Si Jamin dan Si Johan serta Penghibur Hati itu mendapat hadiah dalam sayembara mengarang tentang pemberantasan madat. Oleh karena judul cerita itu mempunyai tujuan yang sama, kedua cerita itu disatukan menjadi sebuah buku. Dalam saduran itu Merari Sáregar menciptakan lingkungan cerita yang baik sehingga tanpa membaca cerita aslinya kita seolah-olah membaca cerita baru yang terjadi di Indonesia (Jakarta). Daerah-daerah seperti Prinsenlaan di Taman Sari dan Glodok serta suasana Betawi tahun 20-an dilukiskan sehingga menimbulkan kerawanan di hati pembacanya.
Ide cerita Si Jamin dan Si Johan ialah ajakan untuk menjauhi minuman keras dan candu karena kedua benda itu mengakibatkan kerusakan mental dan kemerosotan bagi kehidupan manusia. Ide cerita itu sejalan dengan usaha pemerintah Hindia Belanda untuk memberantas pemabuk. Walaupun secara umum Belanda berusaha memberantas pemabukan. pemerintah Belanda masih mengizinkan adanya tempat-tempat tertentu, misalnya di Glodok, yang merupakan tempat terbuka untuk menjual candu.
Dalam menyadur Merari Siregar mengalami kesukaran untuk memindahkan suasana Eropa ke dalam suasana Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ukuran kemiskinan dan kesultanan di Eropa berbeda dengan ukuran kemiskinan dan kesolehan indonesia. Orang miskin di Eropa melarikan diri dari penderitaan dengan meminum minuman keras sedangkan di Indonesia orang yang meminum minuman keras adalah orang yang beruang. Pria Eropa pergi ke gereja bersama anak istrinya, sedangkan pria Indonesia yang soleh pergi ke mesjid tanpa istri dan anak perempuannya.
Selain Azab dan Sengsara serta Si Jamin dan Si Johan yang terkenal, karya-karya lain yang kurang dikenal, yaitu (1) Binasa Karena Gadic Priangan, Balai Pustaka, 1931; (2) Cerita Tentang Busuk dan Wanginya Kora Betawi, Balai Pustaka, 1924; dan (3) “Cinta dan Hawa Nafsu” yang merupakan sebuah roman.
Profesi Merari Siregar sebagai guru mewarnai gaya penceritaan dan gaya karya sastranya, baik karya asli maupun sadurannya. Penggunaan bahasa yang lancar dan rapi dengan gaya khotbahnya langsung menunjukkan perkataan atau maksudnya kepada pembaca; meminta perhatian untuk ceritanya. Ia memberi nasihat, mengecam yang kurang baik serta memuji-muji tindakan yang menurut aturan masyarakat baik.

.Karya Merari Siregar
a. Novel
(1) Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.
(2) Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.
(3) Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balam
Pustaka 1924.
(4) Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.

b. Saduran
c. Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918

2. Hamka
HAMKA dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, dan meningal di Jakarta, 24 Juli 1981. Pernah memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Gema Islam, Panji Masyarakat, dan hingga akhir hayatnya menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Karya-karya peraih gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar (Mesir) ini antara lain: Di Bawah Lindungan Ka`bah (1938), Merantau ke Deli (1938), Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939), Keadilan Ilahi (1941), Di Dalam Lembah Kehidupan (1941), Dijemput Mamaknya (1949), Menunggu Beduk Berbunyi (1950), Kenang-kenangan Hidup I-IV (1951-52), Lembah Nikmat (1959), Cemburu (1961), Cermin Penghidupan (1962), Ayahku (1967), dan sejumlah buku filsafat, etika, dan khotbah.

3. Marah Rusli
Marah Rusli dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, 7 Agustus 1889, dan meningal di Bandung, 17 Januari 1968. Pendidikan : SD di Padang, Sekolah Guru di Bukittinggi, dan terakhir Sekolah Dokter Hewan di Bogor (tamat 1915). Ia pernah bekerja di Sumbawa Besar, Bima (1916), Bandung (1918), Bogor (1920), Jakarta, Balige (1925), dan Semarang (1929-1945). Pernah pula menjadi mayor Angkatan Laut di Tegal (1945), lector Sekolah TinggiDokter Hewan di Klaten (1948), dan sejak 1951 menjalanimasa pensiunnya di Bogor.
Novelnya yang masyhur, Sitti Nurbaya hingga 1996 telah 22 kali dicetak ulang. Karya-karyanya yang lain: La Hami (1952), Anak dan Kemenakan (1956), otobiografi Memang Jodoh, dan novel terjemahan Gadis yang Malang (1922; Charles Dickens).

4. Nur Sutan Iskandar
Nur Sutan Iskandar dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat, 3 November 1893, dan meninggal di Jakarta, 28 November 1975. Menulis novel Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922), Karam dalam Gelombang Percintaan (1924; ditulis bersama Abd. Ager). Cinta yang Membawa Maut (1926; ditulis bersama Abd. Ager), Salah Pilih (1928), Karena Mentua (1932), Tuba Dibalas dengan Air Susu (1933; ditulis bersama Asmaradewi); Hulubalang Raja (1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (1935), Dewi Rimba (1935; ditulis bersama M. Dahlan), Neraka Dunia (1937), Cinta dan Kewajiban (1940; ditulis bersama L. Wairata), Cinta Tanah Air (1944), Mutiara (1946), Cobaan (1946), Jangir Bali (1946), Pengalaman Masa Kecil (1949), dan Turun ke Desa (1949). Ia pun menerjemahkan sejumlah karya sastra dunia, yaitu: Tiga Panglima Perang (1925; Alexander Dumas), Belut Kena Ranjau (1925; Baronese Orczy), Anjing Setan (1928; A. Conan Doyle), Graaf de Monte Cristo (1929; 6 jilid, Alexander Dumas), Anak Perawan di Jalan Sunyi dan Rahasia Seorang Gadis (1929; A. Conan Doyle, diterjemahkan bersama K. St. Pamoentjak), Gudang Intan Nabi Sulaiman (1929; H. Rider Haggard), Memperebutkan Pusaka Lama (1932; Edward Keyzer), Iman dan Pengasihan (1933; Henryk Sienkiewicz), dan Cinta dan Mata (tt; Rabindranath Tagore).

5. Abdul Muis
Abdul Muis dilahirkan di Solok, Sumatera Barat, 1886, dan meninggal di Bandung, 17 Juli 1959. Berpendidikan ELS (Sekolah Dasar untuk bangsa Eropa) di Bukittinggi, dan STOVIA, Jakarta (selam tiga tahun). Pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en Eredients, dansebagai wartawan di Bandung. Pernah aktif dalam syarikat Islam, dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923).
Menulis novel Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Surapati (1950), Robert Anak Surapati (1953), dan menerjemahkan antara lain: Don Quixote de la Mancha (1928; Carventes), Tom Sawyer Anak Amerika (1928; Mark Twain); Sebatang Kara (1932; Hector Malot), Tanah Airku (1950; C. Swann Koopman, 1950).

6. SUMAN H.S
Lahir tahun 1904 di Bengkalis, salah seorang pemuda cerpen dalam kesustraan Indonesia Modern. Berpendidikan Sekolah Melayu di Bengkalis (1912-1918) DAN Sekolah Normaal di Medan dan Langsa (tamat 1923). Pernah menjadi: guru Bahasa Indonesia di HIS Siak Sri Indrapura (1923-30), Kepala Sekolah Bumi Melayu di Pasirpengarajan (1930-), Pemilik Sekolah (di jaman penjajahan jepang), Pemilik Sekolah Kepala merangkap Kepala Jawatan Dinas P & K Pakanbaru/Kampar, anggota sigikai Giin (DPR model jepang), anggota Komite Nasional Indonesia di Rokar Kanan/kiri, Komandan Pangkalan Gerilya Rokan Kanan, anggota staf Gubernur Militer Riau, anggota Badan Pemerintahan Tingkat 1 Riau (1960-66), anggota DPRD propinsi Riau (1966-68), dan terakhir Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Riau.
Karya-karyanya: Kasih Tak Terlarai (novel, 1929), Percobaan Setia (novel,1932), Mencari pencuri anak perawan (novel, 1932), Kasih tersesat (novel,1932), Kawan Bergelut (1938), dan Tebusan Darah (novel,1939).

7. Aman Datuk Madjoindo
Aman Datuk Madjoindo lahir tahun1896 di Surikam, Solok, Sumatra Barat, dan meninggal 16 Desember 1969 di Jakarta. Sejak tahun 1920 bekerja di Balai Pustaka sebagai korektor, ajun redaktur, redaktur dan terakhir redaktur kepala (hingga pensiun).
Karya-karyanya yaitu, Menebus dosa (novel, 1932), Sya’ir si Banso urai (1931), cerita Malim Demam dengan Puteri Bungsu (1932), Si Cebol rindukan bulan (1934), Sampaikan salamku kepadanya (1935), Syair Gul Bakawali (1936), Gindur mata (1951), Hikayat si misksin (1958), Hikayat lima tumenggung (1958), Si Dul anak betawi (1956), Sejarah melayu (1959), Rusmala Dewi (bersama S. hardjosumarto, 1932), dan sebabnya Rafiah tersesat (bersama S. Hardjosumarto, 1934)

2 komentar:

  1. adakah yang punya buku Eenzame Garoeda-vlucht?
    minta tlong bisa kopi dong, perlu banget buat penelitian. terima kasih

    BalasHapus